Monday 20 February 2012

pentingkah menjaga darah perawanan??

Di setiap agama seperti Islam, Kristen, Hindu dan Yahudi telah berkembang keyakinan bahwa
hilangnya keperawanan sebelum pernikahan adalah
hal yang sangat memalukan. Bahkan dalam ajaran
Kristen, keyakinan akan keperawanan Bunda Maria
(Ibu Jesus) adalah fondasi kuat dalam menempatkan
keperawanan sebagai hal penting dalam kehidupan. Secara tradisional, dalam perayaan pernikahan di
Barat, cadar serta gaun putih juga dijadikan sebagai
sebuah simbol keperawanan seorang pengantin. Istilah keperawanan memang telah digunakan untuk
menggambarkan seseorang yang tak pernah
berhubungan seksual. Keberadan selaput dara yang
utuh seringkali dijadikan bukti fisik dari
keperawanan. Lebih jauh lagi, masayarakat di
negara berkembang yang persepsi serta pengetahuan seksualnya rendah, keyakinan akan
keperawanan ditandai dengan keluarnya darah pada
saat malam pertama. Darah inilah yang dikenal
dengan istilah "Darah Perawan". Akan tetapi, seperti dipaparkan Profesor Wimpie
Pangkahila Sp.And, pakar Andrologi dan Seksologi
dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali,
darah perawan itu sebenarnya hanya mitos belaka
"Wanita yang tidak terangsang untuk ngeseks atau
sedang berada dalam tekanan psikogenik (kejiwaan dan genetika), bisa mengalami pendarahan ketika ia
memaksakan hubungan seks," ungkapnya dalam
sebuah makalah tentang kesehatan seksual. "Namun begitu, wanita yang benar-benar terangsang
hasratnya dan terbebas dari beban psikologis tidak
akan mengalami pendarahan meski ia melakukann
hubungan seks untuk pertamalinya. Oleh sebab itu,
sangat jelas dan tidak diragukan lagi bahwa istilah
darah perawan hanyalah mitos belaka," jelasnya. Sayangnya, lanjut Prof. Wimpie, mitos soal darah
perawan seringkali menimbulkan masalah yang
merugikan wanita. Tak jarang para suami yang
berani menceraikan sang istri jika ia tidak melihat
darah perawan pada saat malam pertama. Di sebuah negara seperti Turki, ada dokter yang
bersedia melakukan uji keperawanan atas
permintaan pasien, meskipun hal ini ditentang oleh
Asosiasi Kedoketaran di sana. Uji keperawanan
sebenarnya tidak berarti sama sekali karena selaput
dara yang robek atau rusak bukan berarti seorang wanita pernah melakukan hubungan seks. Hal itu, menurut Wimpie, dapat disebabkan
penggunaan tampon (sumbat kapas sebesar jari)
atau kebiasaan masturbasi memakai alat yang
dimasukkan pada vagina. Di lain pihak, ada pula para
wanita yang organ intimnya tidak memiliki selaput
dara dengan persentase kurang dari 0,03 persen (Jenry et al 1987). Sebaliknya, keutuhan selaput dara pun tidak serta
merta menunjukkan seorang wanita tak pernah
melakukan hubungan seks. Faktanya, selaput dara
tidak harus selalu robek setelah berhubungan intim.
Hasil pengujian selaput dara pada 1.000 remaja putri
yang pernah melakukan seks lewat vagina menunjukkan kebanyakan selaput tampak kacau,
tidak menentu, dan mengumpul di bagian pinggir
vagina. Jarang terjadi selaput dara terbelah secara
komplet atau benar-benar sobek. Lebih jauh, status selaput dara juga tidak berkaitan
dengan perilaku seksual. Utuhnya selaput dara tidak
berarti bahwa wanita tidak pernah melakukan
aktivitas seks. Seorang wanita mungkin saja pernah
melakukan berbagai jenis aktivitas seks termasuk
oral, kecuali seks dengan penetrasi. Pada kasus ini, tentu saja selaput dara masih akan tetap utuh. Pada situasi yang tak jelas ini para dokter dituntut
menjelaskan hal yang sesungguhnya tentang
keperawanan dan selaput dara ini. Sayang, ada
beberapa dokter yang justru melakukan praktik
memperbaiki atau meniru selaput dara. Pada tahun
1960, praktik yang disebut hymenoplasty berkembang di Jepang untuk membantu banyak
gadis yang sudah sering melakukan hubungan seks.
Meski para dokter yang mempraktikkan
hymenoplasty ini beralasan bahwa etika
rekonstruksi selaput dara ini bisa dibandingkan
dengan bedah plastik, pendapat ini tidaklah ilmiah. Tindakan bedah plastik dilakukan pada bagian tubuh
seperti wajah atau payudara dan tidak terkait
dengan mitos. Para dokter diharapkan mempunyai
tanggungjawab moral guna menghapus mitos yang
menyesatkan dan tak bermanfaat. Dengan begitu,
tindakan peniruan selaput dara atau hymenoplasty pada gadis yang sudah tidak perawan hanyalah akan
menjadi upaya memelihara, mengabadikan mitos
tentang selaput dara dan keperawanan.

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com